Aci dicolok, katanya begitu kepanjangan dari Cilok, satu dari sekian banyak makanan kesukaanku, bisa dibilang, cilok lebih tinggi frekuensi dimakannya ketimbang makanan lainnya selain makanan pokok, atau cilok jadi makanan pokok?
Pertama jumpa dengan cilok dan jatuh hati pada makanan yang terbuat dari bahan dasar aci ini adalah saat duduk di sekolah dasar, tepatnya di SD Babakan 5 Pangandaran yang katanya sekolahnya sudah tidak ada karena dilebur dengan sekolah lainnya, hiks. Saat itu, cilok yang menarik perhatianku adalah cilok yang dijual oleh bibi warung disamping sekolah, saya lupa namanya, kabarnya sudah meninggal. Cilok ini murni aci, kekuatannya ada dibumbu dan opak ketela (opak sampeu dalam bahasa sunda). Cilok tidak disajikan menggunakan plastik atau tempat khusus, melainkan diletakan diatas opak sebagai alasnya. Alhasil, tidak ada yang tersisa ketika sudah dimakan, bumbunya menyatu dengan panci tempat cilok, tidak terpisah, jadi saat penyajian bersamaan. Bumbunya sangat kental, lebih kental dari tepung maizena.
Masih saat sekolah dasar, jenis cilok baru hadir, kabarnya mamang penjualnya berasal dari Tasikmalaya, penyajiannya jelas beda, cilok terpisah dengan bumbu, bumbunya hanya saus dan kecap saja. Bedanya, ciloknya ada isinya, lemak daging sapi, jadi mirim-mirip seperti baso solo yang ukuran besar. Uniknya, Mamang Cilok yang satu ini menyimpan beberapa kacang di ciloknya, saat kita makan terdapat kacang, maka kita dapat doorprize, ada mainan atau uang seratus rupiah.
Menginjak sekolah menengah pertama, tepatnya di MTsN Pangandaran, kebiasaan untuk membeli cilok tidak berubah. Cilok yang sering dibeli adalah cilok yang berjualan di samping KUA Kecamatan Pangandaran, dijual menggunakan sepeda dengan tempat cilok berwarna biru. Ciloknya sama dengan cilok mamang dari tasik, bedanya bumbunya ada kacangnya, atau disebut bumbu kacang. Tidak banyak pilihan memang saat itu, hanya Mamang Cilok bersepeda ini menjadi pilihan utama.
Menginjak saat SMA, kebiasaan makan cilok agak sedikit menurun, maklum saja di SMA tidak ada yang khusus jualan cilok. Hanya cilok di Koperasi Sekolah-lah yang jadi pilihan, ciloknya cilok bumbu kacang dan sudah terbungkus plastik yang diikat karet dan ada udaranya sehingga menggelembung. Sesekali, Mamang tukang cilok SD jika lewat depan rumah, tak lupa saya beli.
Saat awal-awal di Bandung dan kuliah Diploma satu, saat itu, cilok yang sering dibeli adalah cilok yang berjualan tidak jauh dari Masjid Daaruut Tauhiid, sebelum masuk ke gang Gegersuni satu, ada tukang cilok disana. Jika sedang di kampus, saat itu di daerah Pahlawan, cilok yang sering dibeli yang mangkal di depan kampus LP3I Bandung.
Setelah bergabung dengan Daarut Tauhiid dan Manajemen Qolbu Corp, cilok yang sering dibeli adalah cilok mang Wely di Pasteur, maklum saja, jalan itu sering dilewati saat pulang dari Kampus di STMIK AMIK Bandung.
Cilok memang mewarnai hari-hari saya dan saat ini jenis cilok sudah banyak sekali jenisnya, ada cilok goang, cilok ceker, cilok pedas, cilok bumbu kacang dan varian cilok lainnya. Hingga hari ini, masih sering makan cilok, bahkan Istri jika bepergian atau sedang di kampus sering sekali membawa oleh-oleh spesial, cilok. Begitu pula dengan Ibu (mertua), jika datang kerumah tak lupa membawa cilok, atau membuat cilok. Beberapa cilok yang sering dibeli adalah Cilok Mang Wely (jika belum terlalu sore) atau Cilok Kakaknya Mang Wely di Pasteur, terkadang membeli cilok Bapri walau tidak terlalu sering, Cilok ayam di dekat Poltekpos dan Polban.
Jika sedang jalan atau mengunjungi sebuah kota, tidak terlewat saya menyempatkan diri merasakan cilok setempat, walaupun seringnya menemukan cilok rasa yang sama atau justru cilok khas kota lain seperti Ciamis atau cilok Bandung. Tapi apapun itu, cilok memang Istimewa, apakah anda penyuka cilok juga? :D