Disadari atau tidak semua orang pasti mengalami yang namanya hutang budi, bukan berhutang kepada si Budi tetapi berhutang kepada seseorang. Dimana hutang itu tidak hanya bersifat materi saja seperti uang dan barang tetapi juga pertolongan-pertolongan lain yang pernah diberikan. Hutang budi bisa menimpa siapa saja, tidak mengenal usia ataupun jenis kelamin dan tidak pula mengenal profesi seseorang, baik itu seorang presiden hingga pemulung sampah dipinggiran kota. Tidak terkecuali adalah untuk seorang ulama, sungguh berat ketika ulama sudah berhutang budi. Kenapa?
Jika seorang presiden mampu terpilih kembali menjadi presiden untuk periode berikutnya sudah dipastikan ada budi para pendukungnya khususnya partai pengusungnya, makanya kita kenal dengan istilah politik balas budi akhir-akhir ini. Terkadang presiden yang bijak bisa membedakan mana yang harus dibalas dan mana yang sesuai prinsip, jangan sampai sebuah keputusan penting bisa menjadi kacau balau karena ingin balas budi ke partai pengusung.
Namun ketika hutang budi kepada seorang ulama ini yang akan menjadi berat dan susah, ulama disini saya tidak batasi hanya kepada seorang kiayi ataupun ustadz namun saya perluas definisinya menjadi orang-orang yang berilmu, khusunya ilmu agama. Hutang budi bisa menjadi buah simalakama bagi ulama, hanya ulama-ulama yang bijak dan teguh pendirian yang dapat mengatasinya.
Contoh sederhana jikalau ada seorang ulama yang memiliki ketergantungan secara ekonomi kepada seseorang, ataupun jangan jauh-jauh sampai ketergantungan, sering dibantu saja sudah membuat pusing dan menjadi bingung jikalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan agama islam yang terjadi pada orang yang memberikan budi. Terkadang langkah itu terhenti ketika ingat jasa-jasa yang telah diberikan kepada dirinya itu sehingga apa yang disampaikannya hanya dapat menyentuh tingkat pemahaman keislaman yang umum dan tidak dapat berkata-kata ketika ada sesuatu yang disampaikan yang cukup saklek, atau berat.
Ulama yang baik adalah ulama yang dapat memisahkan antara balas budi dengan suatu kewajiban untuk mengingatkan. Seorang ulama harus yakin bahwa yang benar wajib disampaikan dan yang salah harus diperbaiki walaupun kepada seseorang yang sudah menopang hidupnnya, secara saerat, karena sebetulnya hanya jalan Allah memberikan rizki. Ketika ada keraguan untuk mengingatkan sang pemberi budi sudah dipastikan semuanya akan menjadi bias karena ketakutan kran rizki akan sedikit mampet terlebih-lebih jika pemberi budi tidak suka diperingati ataupun diingatkan untuk hal-hal tertentu.
Siapapun sahabat yang baca, baik sahabat seorang ulama atau bukan, ketika sahabat berhutang budi kepada seseorang adan seseorang itu melakukan salah, jangan takut untuk mengingatkannya. Semuanya harus dilandasi rasa sayang dan cinta, Karena hakekatnya mengingatkan seseorang untuk berubah menjadi lebih baik adalah tanda cinta dan sayang seseorang dan pastikan cukup Allah yang menjadi penolong, Wallahualam bissowab, Mudah-mudahan bermanfaat.